Referensi 30 Jurnal
Nama: Agi Hermawan
NPM: 202246500742
Kelas: R3J
Referensi 30 Jurnal untuk Penulisan Karya Ilmiah
Mencari 30 jurnal sebagai referensi penulisan karya ilmiah, jurnal jurnal ini berisi hasil penelitian atau kajian ilmiah yang telah ditelaah oleh para ahli di bidangnya. Oleh karena itu, jurnal dapat menjadi sumber referensi yang kaya akan informasi dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan karya ilmiah. Berikut adalah 30 jurnal yang akan saya bagikan:
1. Kajian Semiotika Dalam Film
Yoyon Mudjiono
2. KONTEN KEKERASAN DALAM FILM INDONESIA ANAK TERLARIS TAHUN 2009-2011
Elita Primasari Hananta
Film Indonesia anak mengalami peningkatan yang pesat hingga 300 persen, tetapi justru dalam film untuk anak ditemukan kekerasan. Peneliti tertarik mengetahui kekerasan apa yang dominan dalam film layar lebar Indonesia anak. Film Indonesia Anak merupakan film Indonesia yang mengandung cerita tentang pencapaian, petualangan, komedi, dan drama dan ditujukan untuk membentuk standart moral tinggi dan juga menghibur. Cerita film anak berpusat pada kehidupan anak-anak dan karakter utamanya diperankan oleh anak-anak serta naratifnya diceritakan melalui sudut pandang anak-anak. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi kuantitatif. Indikator yang dipakai untuk pengukuran penelitian adalah kategori kekerasan milik Thomas Santoso. Dari hasil koding dan pengolahan data, peneliti menemukan bahwa film layar lebar Indonesia anak mengandung kekerasan dan jenis kekerasan yang dominan adalah kekerasan psikologis. Sedangkan kekerasan yang paling jarang ditampilkan adalah kekerasan finansial. Peneliti menemukan kekerasan finansial dalam bentuk korupsi.
Link: https://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/79
3. REPRESENTASI PATRIARKI DALAM FILM “BATAS”
Fanny Gabriella Adipoetra
Film “Batas” adalah film yang menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan yang bernama Jaleswari untuk memperbaiki program CSR dalam bidang pendidikan dari sebuah perusahaan yang dilakukan di wilayah perbatasan Kalimantan dan Malaysia, tepatnya di desa Entikong. Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi patriarki dalam film “Batas”. Metode yang digunakan adalah metode semiotika Charles S Pierce.Teori yang digunakan untuk menganalisa film adalah milik Kamla Bhasin yang terdiri dari aspek Daya Produktif dan Tenaga Kerja Perempuan, aspek Reproduksi Perempuan, aspek Kontrol Atas Seksualitas Perempuan, aspek Pembatasan Gerak Perempuan, aspek Harta Milik dan Sumber Daya Ekonomi Lainnya. Peneliti menemukan bahwa film ini menyampaikan sebuah harapan, namun hanya untuk kaum laki-laki. Perempuan tetap tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sehingga film ini melanggengkan ideologi patriarki.
Link: https://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/4875
4. PENATAAN KAMERA FILM FIKSI TENTANG STIGMA TERHADAPWIBUDI KALANGAN MAHASISWA KOTA BANDUNG
Alwi Asyifa
Seperti pada umumnya, penata kamera memiliki tiga proses utama dalam membantu sutradara pada pembuatan film fiksi tersebut, yang diantaranya berupa Pra Produksi, Produksi, dan Pasca Produksi. Di tahap Pra Produksi, penulis berperan dalam segala hal yang terkait dengan fasilitas dan teknik produksi, mekanisme operasional desain kreatif, dengan kebutuhan serta khalayak sasaran yang dituju. Pada proses Produksinya, penulis terlibat langsung dalam menerjemahkan arahan yang diberikan oleh sutradara ke dalam visual melalui breakdown script guna memudahkan crew dalam pengambilan gambar. Serta di proses Pasca Produksi, penulis menjelaskan bagian visual yang sulit dipahami oleh editor melalui camera report.
Link: https://docplayer.info/225734081-Pengantar-karya-tugas-akhir-penataan-kamera-film-fiksi-tentang-stigma-terhadap-wibu-di-kalangan-mahasiswa-kota-bandung.html
5. Nilai Moral Bangsa Jepang Dalam Film Sayonara Bokutachi No Youchien (Kajian Semiotika)
Selam Shabrina
Menurut Wibowo (dalam Rizal, 2014) film adalah suatu alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak umum melalui media cerita, dan juga dapat diartikan sebagai media ekspresi artistik bagi para seniman dan insan perfilman untuk mengungkapkan gagasan dan ide cerita yang dimilikinya. Sedangkan menurut UU no 33 tahun 2009 tentang perfilman, mengatakan bahwa film adalah sebuah karya seni budaya yang merupakan suatu pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat atas dasar kaidah sinematografi dengan ataupun tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
Link: https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/2165/8/13.%20UNIKOM_SELMA%20SHABRINA_BAB%20II.pdf
6. Moral Value Of Film “Ketika Cinta Bertasbih” Written by Habiburrahman El Shirazy
Muhammad Zidan
Ketika Cinta Bertasbih is a film based on the phenomenal novel written by Habiburrahman El-Shirazy. Ketika Cinta Bertasbih itself tells the story of a young Indonesian named Khoirul Azzam, who is a student who is criticizing education in Egypt. This film tells the struggle of an Azzam in completing his studies as well as being the backbone for his family. Ketika Cinta Bertasbih itself does not only focus on Azzam's struggles but also tells his love story which must be hindered by social and economic status. The film Ketika Cinta Bertasbih is a film with an Islamic nuance, so there are many moral messages that can be learned. The author will examine the film Ketika Cinta Bertasbih by using a qualitative approach with a descriptive method. The author uses primary and secondary data, where primary data is taken from the analysis of films which watched repeatedly, while secondary data is taken via the internet. The author watches the film Ketika Cinta Bertasbih then pays attention to the movements and conversations of the players, then the data is analyzed so that it can be presented in this paper.
Link: https://jurnal-stiepari.ac.id/index.php/pustaka/article/view/224
7. Handbook of Narratology
Peter Hühn, Jan Christoph Meister, John
Diegesis ("narrative," "narration") and mimesis ("imitation," "represen- tation," "enactment") are a pair of Greek terms first brought together for proto-narratological purposes in a passage from Plato's Republic (3.392c-398b). Contrary to what has become standard modern usage (section 3 below), diegesis there denotes narrative in the wider generic sense of discourse that communicates information keyed to a temporal framework (events "past, present, or future," Republic 392d). It is sub- divided at the level of discursive style or presentation (lexis) into a tri- partite typology: 1) haple diegesis, "plain" or "unmixed" diegesis, i.e. narrative in the voice of the poet (or other authorial "storyteller," muth- ologos, 392d); 2) diegesis dia mimeseos, narrative "by means of mime- sis," i.e. direct speech (including drama, Republic 394b-c) in the voices of individual characters in a story; and 3) diegesis di' amphoteron, i.e. compound narrative which combines or mixes both the previous two types, as in Homeric epic, for example. From this Platonic beginning, the terms have had a long and sometimes tangled history of usage, right up to the present day, as a pair of critical categories.
Link: https://books.google.co.id/bookshl=id&lr=&id=v9fmBQAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA129&dq=mimesis&ots=RVUvNvwVOA&sig=HXJlASjqvSOa89aJEf3S3AnYOk&redir_esc=y#v=onepage&q=mimesis&f=false
8. Mimesis and Possible Worlds
Lubomír Doležel
From its origins, i.e., the writings of Plato and Aristotle, Occidental aesthetic thinking has been dominated by the idea of mimesis: Fictions (fictional objects) are derived from reality, they are imitations/repre- sentations of actually existing entities. During its long reign, the idea has been interpreted in many different ways and, consequently, the term "mimesis" has accumulated several distinct meanings. Undoubt- edly, these ambiguities can be resolved only by a careful theoretical and semantic analysis of the concept. My paper is intended to con- tribute to this analysis by constructing or reconstructing the theory of mimesis which underlies the praxis of modern mimetic criticism. This approach will prove useful for my specific and restricted purpose: to offer a critique of the popular mimetic phraseology and to propose a promising alternative to mimetic theories of fictionality
Link: https://www.jstor.org/stable/1772728
9. Mimesis and Katharsis
Leon Golden
The long and as yet unresolved debate over the real meaning of Aristotle's doctrine of catharsis continues vig- orously today. If ultimate truth has not yet been achieved, our understanding, at least, of important aesthetic problems has become sharper as we have debated the merits and flaws of the various interpreta- tions of Aristotle's enigmatic doctrine that have been put forward. The present paper is a resumption
Link: https://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/365494?journalCode=cp
10. Home alone: supervision after school and child behavior
Anna Aizer
As female participation in the labor force continues to grow in the US, so too does reliance on non-parental child care. However, the high cost of child care has impeded the ability of many working mothers to find sufficient child care for their children. As a result, as recently as 1998 over eight million children ages five to 14 spent time without adult supervision on a regular basis in the US. I examine the effect of the lack of adult supervision after school on a panel of school-age children using ordinary least squares and fixed effect estimation. I find that children with adult supervision are less likely to skip school, use alcohol or marijuana, steal something or hurt someone. These findings suggest that expanding after school or child care programs typically geared to preschool-age children to accommodate more school-age children may have important consequences for their human capital development and labor market outcomes later in life.
Link: https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0047272703000227
11. Home Alone and Other Inadequately Supervised Children
Carol Coohey
This study examined the relationship between a mother's motivation, capacities, and opportunities, and how much supervision her children received. Ninety- five mothers who adequately supervised their children were compared with a demographically comparable sample of 37 mothers who did not. Mothers who provided inadequate supervision were less motivated, had fewer problem-solving and social skills, and were more likely to move, be homeless, and have inadequate housing. No differences were found between the groups on perceived social support. Families with supervision problems tended to have an adult or child in the family with one or more problems. A discriminant analysis showed that less education and poorer problem-solving skills made the largest contribution to the function
Link: https://www.jstor.org/stable/45399343
12. Far from Being “Home Alone”: The Dynamics of Accompanied Fieldwork
Julie Cupples, Sara Kindon
Despite persistent images to the contrary, most fieldworkers are accompanied. Yet, there has been limited discussion on the nature of accompanied fieldwork, particularly by geographers. Drawing on our experiences in three countries in the tropics, we discuss the dynamics of being accompanied in “the field” by our children and female co-researchers. Specifically, we focus on issues of access and rapport; the impacts of their presence on our positionality; and the implications these have for power relations and research outcomes. We demonstrate how being accompanied entangles our personal and professional selves and can result in more egalitarian power relations as we become “observers observed”. We argue that by paying attention to the dynamics of accompanied fieldwork, there is the potential to enhance the conceptual focus of our methodological concerns and to provide a more theoretically sophisticated mode of exploring the ways in which our multiple identities intersect while in “the field”.
Link: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/1467-9493.00153
13. THE MEANING OF FAMILY LOVE IN FAMILY FILM
Alya Maulidia Hanum , Marudut Bernadtua Simanjuntak , IIza Mayuni , Zuriyati
The film is one of the visual communication media in the form of moving images based on a story or script that has been designed. In choosing a film, most people choose a film that can take them into the plot of the film, make them feel everything that is done by the characters and events in the film so that they get carried away. The Cemara family began to be updated in a more modern and millennial version in 2019 and made into a cinema or feature film. This study aims to describe the meaning of family love in the film Keluarga Cemara. This research is also expected to be useful in analyzing the meaning of the storyline of a film using qualitative analysis methods. The research method used in this research is the descriptive analysis research method with a qualitative approach. The qualitative research method is one type of research used to examine human and social problems. The results of this study indicate that the meaning of family affection in the film Keluarga Cemara is interpreted by the many sacrifices of a father, communication between families, and the harmonious atmosphere described by the storyline.
Link: https://scholar.archive.org/work/vwqpibqhafgnjmka2s4cxnx23m/access/wayback/https://s3-eu-west-1.amazonaws.com/pfigshare-u-files/35269081/77617221SM1.pdf?X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-SHA256&X-Amz-Credential=AKIAIYCQYOYV5JSSROOA/20220525/eu-west-1/s3/aws4_request&X-Amz-Date=20220525T110410Z&X-Amz-Expires=10&X-Amz-SignedHeaders=host&X-Amz-Signature=4f7f314bdd0b49b14bccf490bb417648d5258e06332c34e2e212c4cbc5b721e6
14. The “Family” Film and the Tensions Between Popular and Academic Interpretations of Genre
Noel Brown
The family film has only recently been “discovered” by scholars, who are still divided over its generic status. Conversely, the family film has been construed as a genre by producers, distributors and exhibitors in the Hollywood film industry since the 1930s, with the label entering the vocabulary of film fans and casual audiences in the United States at approximately the same time. The family film is roughly analogous to the “children’s film”. Cary Bazalgette and Terry Staples argue that the former is “essentially American”, while the latter is “essentially, but no longer exclusively, European” (94-95). Peter Krämer pragmatically draws a further distinction: “children’s films are made specifically for children”, and “family films can be defined as those films aimed at both children and their parents” (186). However, although they constitute “many of the most cherished and most successful *...+ American films in recent decades”, including the Star Wars (1977-2005), Trespassing Genre: Issue 2, Winter 2013 an online journal of trespassing art, science, and philosophy www.trespassingjournal.com 23 Trespassing Journal, Issue 2, Winter 2013 Indiana Jones (1981-2008), Back to the Future (1985-90), Toy Story (1995- ), Shrek (2001-10) and Harry Potter (2001-11) series, Krämer is right to suggest that family films are “very low on the academic agenda, at least in film studies” (185-86).
Link: https://www.researchgate.net/profile/Noel-Brown/publication/272168613_The_%27Family%27_Film_and_the_Tensions_Between_Popular_and_Academic_Interpretations_of_Genre/links/54dd47f30cf282895a3b6383/The-Family-Film-and-the-Tensions-Between-Popular-and-Academic-Interpretations-of-Genre.pdf
15. Hollywood, the family audience and the family film, 1930-2010
Brown, Noel
This thesis is the first in-depth, historical study of Hollywood’s relationship with the ‘family audience’ and ‘family film’. Since the 1970s, Hollywood family films have been the most lucrative screen entertainments in the world, and despite their relativelyunexplored status in academic film criticism and history, I will argue that the format is centrally important in understanding mainstream Hollywood cinema. How have ‘family films’ become so globally dominant? One answer is that Hollywood’s international power facilitates the global proliferation of its products, but this explanation, in isolation, is insufficient. I will argue that Hollywood family films are designed to transcend normative barriers of age, gender, race, culture and even taste; they target the widest possible audiences to maximise commercial returns, trying to please as many people, and offend as few, as possible. This they achieve through a combination of ideological populism, emotional stimulation, impressive spectacle, and the calculated minimisation of potentially objectionable elements, such as sex, violence, and excessive socio-cultural specificity. Initially, the audience for family films was predominantly domestic, but with the increasing spending power of international audiences, family films are now formulated on the belief that no market is inaccessible. For this reason, they are inextricably linked with Hollywood – the only film industry in the world with the resources and distribution capacity to address a truly global mass audience. The ‘family film’ originated in early-1930s Hollywood as a mixture of propaganda and commercial idealism. Hollywood cinema was already an international cultural phenomenon, but was founded upon a claim to universality that was undermined by the predominance of adult-orientated films. The family film was the result both of external pressures to make films more morally-suitable for children, and the desire to engage a more middle-class mass audience. Films targeting the so-called ‘family audience’ were excellent propaganda for Hollywood, suggesting superior production, inoffensiveness and broad appeal. Although such movies have not always commanded the mass (‘family’) audiences for which they are intended, they have flourished in the domestic and international media marketplace since the 1970s, and their commercial and cultural dominance appears likely to extend further in the years to come. Whilst the idea of a universally-appealing film remains an impossible dream, mainstream Hollywood has pursued it relentlessly. It is the Holy Grail for mainstream producers, and has attained considerable importance in U.S. – and increasingly international – culture, as audiences flock to see films which appear to transcend run-ofthe- mill screen entertainment by providing universally-intelligible aesthetic and/or emotional satisfaction. This thesis maps the history of the Hollywood family film, documenting the motivations and strategies involved in its emergence and development, analysing the form creatively and ideologically, evaluating its place within global mass entertainment, and underlining its considerable importance.
Link: https://theses.ncl.ac.uk/jspui/handle/10443/954
16.Analisis Isi Pesan Moral Pada Film Keluarga Cemara
Ariani Fitriana
Film merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan, dimana film mampu menghubungkan gambaran masa lampau dengan sekarang. Namun film tidak hanya semata menonjolkan unsur hiburan saja, tetapi lebih kepada tanggung jawab moral untuk mengangkat nilai nasionalisme bangsa dan jati diri bangsa yang berbudaya. Tak hanya disitu, tetapi film juga sebagai penyampai pesan moral, informatif, sejarah maupun solusi atas tema-tema yang berkembang dimasyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pesan moral pada film “keluarga cemara. Jenis Penelitian yang digunakan oleh peneliti ialah jenis penelitian analisis isi kuantitatif yang merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, objektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak didalam film Keluarga Cemara. Hasil Penelitian ini adalah Pesan moral yang terkandung dalam film Keluarga Cemara terdiri dari 3 kategori yaitu Kategori Hubungan Manusia Dengan Tuhan dengan Sub.Kategori bersyukur, Kategori Hubungan Manusia Dengan Diri Sendiri dengan Sub. Kategori Tanggung Jawab, dan Sabar. Dan Kategori Manusia Dengan Manusia Lain Dalam Ruang Lingkup Sosial termasuk Dalam Hubungannya Dengan Lingkungan Alam dengan Sub.Kategori Kasih Sayang, Tolong Menolong, Musyawarah dan Gotong Royong. Dari seluruh scene dan dialog yang termasuk kategori pesan moral dalam film Keluarga Cemara ditemukan pesan paling dominan adalah kategori pesan moral Kasih Sayang dengan jumlah 15 scene atau dialog dengan persentase 41,66%, kategori kasih saying dan dari jumlah scane dan dialog tersebut, kategori moral pada pesan kasih sayang memiliki jumlah dialog dan scene terbanyak dibandingkan kategori pesan moral yang lain. Ini menunjukkan bahwa film Keluarga Cemara ini menganggap lebih penting edukasi moral dalam menanyangkannya.
Link: https://repository.uin-suska.ac.id/25548/
17.TEKNIK HUMOR DALAM FILM KOMEDI YANG DIBINTANGI OLEH STAND UP COMEDIAN
Vania Dewi Sugiarto
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh film komedi, yang pada tahun 2013-2015 dapat meraih banyak penonton. Film-film komedi yang dapat meraih banyak penonton tersebut adalah film komedi yang dibintangi stand up comedian. Oleh karena itu, dari 69 film komedi sepanjang 2013-2015, diambil 7 film komedi terlaris yang dibintangi oleh stand up comedian untuk dijadikan sampel. Ketujuh film yang akan diteliti tersebut adalah “Cinta Brontosaurus”, “Manusia Setengah Salmon”, “Marmut Merah Jambu”, “Bajaj Bajuri the Movie”, “Comic 8”, “Comic 8 : Casino Kings Part I”, dan “Ngenest”. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis isi kuantitatif. Dengan menggunakan teori teknik humor yang dikemukakan oleh Arthur Asa Berger, yaitu 4 dimensi teknik humor dengan total indikator sebanyak 45, peneliti ingin mengetahui teknik humor apa saja yang digunakan dalam film komedi 2013-2015 yang dibintangi oleh stand up comedian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi terbesar yang digunakan adalah ridicule, yang menunjukkan bahwa sarcasm dan satire belum terbiasa digunakan dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, adanya dimensi identity sebagai dimensi terbesar kedua yang digunakan juga cocok dengan sifat masyarakat Indonesia yang cenderung ingin tahu eksistensi orang lain. Ditambah lagi, materi lawakan monolog berupa isu-isu sosial yang menjadi ciri khas tiap stand up comedian ikut diangkat dalam film yang diteliti, dan program stand up comedy juga sedang digemari oleh masyarakat Indonesia. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan film komedi yang dibintangi oleh stand up comedian tersebut banyak disukai penonton.
Link: https://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/4855
18.Analisis Perkembangan Film Komedi Indonesia
Rizky Hafiz Chaniago
Dalam sejarah perfilman Indonesia, film komedi mulai muncul pada dasawarsa 1950-an, bersamaan dengan diproduksinya film nasional pertama yang disutradarai Nya’ Abbas Akup. Film komedi Indonesia paling banyak diproduksi pada 1980-an dan sebagian besar dibintangi oleh grup yang menamai dirinya Warkop DKI. Dalam perkembangannya, film komedi di era 2000-an terbagi menjadi beberapa genre. Tulisan ini memaparkan sejarah perkembangan film komedi di Indonesia dalam tiga periode: era klasik (1960- 1970), era pertengahan (1980-1990) dan era milenium (2000-hingga kini).
Link: https://jurnal.umt.ac.id/index.php/nyimak/article/view/482
19.PENGARUH TERAPI HUMOR DENGAN MEDIA FILM KOMEDI TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI
Dewi Masruroh
Hipertensi atau tekanan darah tinggi seringkali muncul tanpa gejala, sehingga disebut sebagai silent killer. Berdasarkan permasalahan tersebut, terapi humor dapat digunakan sebagai alternatif pilihan dalam upaya untuk mengurangi kejadian hipertensi dan menurunkan tekanan darah dengan biaya murah, mudah dilakukan. Terapi humor berperan dalam menstimulasi hormon endofin. Endorphin merelakskan otot-otot yang tegang, melebarkan pembuluh darah sehingga memperlancar aliran darah ke seluruh tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana efektifitas terapi humor terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi. Metode: Design penelitian yang digunakan yaitu quasiExperimental pre post control grup desain. Sampel yang digunakan berjumlah 56 responden untuk kelompok intervensi dengan metode random sampling. Variable independent dalam penelitian ini adalah terapi humor dengan media film komedi dan variable dependennya tekanan darah lansia, instrument dalam penelitian ini adalah spignomanometer. Analisa data yang digunakan adalah uji Wilcoxon Signed Ranks Test dan Kolmogorov smirnov dengan tingkat signifikansi p=0.05. Hasil : Analisis data dengan uji statistik Wilcoxon Signed Ranks Test pada kelompok perlakuan didapatkan sistol p value = 0,00 dan diatole p value: 0,002. Hasil pengujian dengan Kolmogorov smirnov didapatkan p value sistole: 0.000 dan p value diastole 0.816 yang artinya terdapat perubahan tekanan darah sistole sebelum dan sesudah diberikan terapi humor dengan media film komedi. Kesimpulan: Kesimpulan Penelitian adalah terapi humor berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah sistol pada lansia dengan hipertensi, sehingga terapi humor dapat digunakan sebagai alternatif pilihan dalam upaya untuk mengurangi kejadian hipertensi
Link: https://repository.unair.ac.id/93503/
20. Dinamika Film Komedi Indonesia Berdasarkan Unsur Naratif (Periode 1951-2013)
Rizki Briandana , Nindyta Aisyah Dwityas
Dari sudut pandang praktisi perfilman di Indonesia, film komedi dipercaya dapat menghasilkan keuntungan yang besar dan meminimalisir biaya produksi film. Pendekatan cerita komedi dapat dibagi dalam lima kategori utama yaitu, slapstick, deadpan, verbal comedy, screwball, dan black/dark comedy. Penelitian ini bertujuan mengklasifikasikan film komedi Indonesia pada tahun 1951-2013 menurut kategori tersebut. Penelitian ini menggunakan analisis isi kuantitatif untuk mengkategorikan genre film per-era. Analisis terfokus pada unsur naratif dari sinopsis masing-masing film untuk melihat kategorisasi tema utama dalam keseluruhan film komedi Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis film verbal comedy merupakan kategori film komedi yang paling diproduksi di Indonesia, yaitu mencapai 241 judul film. Puncak kemunculannya terjadi antara tahun 1970-1979 dengan jumlah 71 judul film. Meskipun trennya mulai menurun sejak itu, verbal comedy tetap menjadi salah satu kategori film komedi yang mendominasi di setiap era perkembangan industri film Indonesia.
Link: https://www.ojs.uma.ac.id/index.php/simbolika/article/view/205
21. Capturing Christmas: The Sensory Potential of Data from Participant Produced Video
Stewart Muir and Jennifer Mason
In this paper, we discuss our use of participant-produced digital footage of family Christmases, collected as part of a larger project exploring family backgrounds and family traditions. The audio-visual recording (and subsequent dissemination) of these otherwise difficult-to-access domestic celebrations provides important insights into the multi-dimensional, multisensory, physical and situational nature of such family traditions. With their blend of genre styles - from narrated documentary to home-movie style wobbly camera work - the ‘Christmas videos’ show both conscious ‘displays’ of family life and practice (performed for the camera, for the participants and for posterity) and largely unscripted, and sometimes noisily chaotic, interactions. Although videos cannot provide unmediated access into what such traditions are ‘really like’, in combination with our other data sources the footage has helped to push our thinking about family traditions as being at once intellectualised productions and a series of bodily engagements with a host of practices, understandings, knowledges, family histories, things and people. This form of ‘backstage’ analytical usage of the video data has been very productive for us. However, we argue that there are ethical issues in publicly presenting such data alongside other forms of data, eg interview data, in a deep sociological analysis of people's personal lives. There is the potential not only for the production of incisive knowledge and insight, but also for a prying and distinctively sociological intrusiveness, and sociologists need to think carefully about how to proceed.
Link: https://journals.sagepub.com/doi/full/10.5153/sro.2580
22. PENGARUH NILAI-NILAI ESTETIKA PADA PENATAAN POJOK BACA TERHADAP MINAT BACA ANAK USIA DINI
Heri Hidayat , Jazilah Nayren
Tujuan dari penelitian ini yaitu agar menjawab rumusan beberapa pemahaman guru pendidikan anak usia dini tentang pemikiran esetika dalam pendidikan, pengaruh nilai-nilai estetika pada penataan pojok baca terhahadap minat baca anak. Hal ini sangat dibutuhkan karena ada beberapa pendidikan anak usia dini kurang memperhatikan nilai-nilai estetika pada penataan pojok baca, dan kurang memahami akan pentingnya diadakan ruangan pojok baca, sehingga hal tesebut dapat mengurangi minat baca anak. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan (Library Research). Subjek penelitian difokuskan pada anak usia dini, data yang dikumpulkan serta data yang dianalisis berasal dari literature, dokumentasi, maupun jurnal yang releven dengan judul apa yang akan diteliti. Hasil dari peneilitain ini bahwasanya nilai-nilai estetika pada penataan pojok baca sangat berpengaruh terhadap minat baca anak, mengapa demikian, karena jika pojok baca ditata dengan menarik, unik dan estetik, maka anak akan tertarik mengunjungi pojok baca dan anak akan merasa nyaman berada diruangan pojok baca. Minat baca harus seharusnya ditanamkan sejak dini, bahkan ketika anak belum dapat membaca susunan huruf dalam sebuah buku. Menghadirkan pojok baca merupakan salah satu cara agar dapat menumbuhkan minat baca terhadap anak. Kebiasaan membaca sangat diperlukan karena kebiasaan membaca banyak sekali manfaatnya, dan dengan membaca anak akan mempunyai masa depan yang berkesan dan berwawasan luas.
Link: https://ojs.diniyah.ac.id/index.php/Al-Abyadh/article/download/321/219
23. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Tradisi Suran
Valencia Tamara Wiediharto, I Nyoman Ruja, Agus Purnomo
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bentuk nilai-nilai kearifan lokal Tradisi Suran di Desa Wonosari Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ada tiga, yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Simpulan penelitian ini adalah Tradisi Suran merupakan perayaan masyarakat Desa Wonosari untuk menyambut tanggal 1 pada Bulan Suro. Masyarakat Desa Wonosari memiliki cara-cara tersendiri untuk melestarikan tradisi yang ada di sekitarnya dan dikenal dengan kearifan lokal. Adapun kearifan lokal yang ada pada Tradisi Suran terbagi menjadi beberapa nilai, diantaranya nilai religi, nilai estetika, nilai gotong royong, nilai moral dan nilai toleransi. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut merupakan simbolsimbol yang dihasilkan oleh masyarakat melalui proses interaksi. Nilai-nilai tersebut dapat dimaknai dengan baik apabila masyarakat menjalankan Tradisi Suran secara rutin setiap tahun dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam setiap tahapan mulai dari persiapan, pelaksanaan dan penutupan.
Link: https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1737450&val=15829&title=Nilai-Nilai%20Kearifan%20Lokal%20Tradisi%20Suran
24. PENGKAJIAN PUISI MELALUI PEMAHAMAN NILAI-NILAI ESTETIKA DANETIKA UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA
Yusida Gloriani
Melalui eksplorasi bahasa yang khas dalam puisi, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yangoptimal. Nilai estetik adalah nilai yang berdasar pada keindahan. Selain nilai-nilai estetika, di dalampuisi pun terdapat pula pemikiran, ide/gagasan, emosi, bentuk, kesan, dan pesan yang ingindisampaikan pengarang. Dengan demikian, dapat kita temukan nilai-nilai etika yang ingindisampaikan pengarang melalui keindahan bahasa pada puisinya. Nilai-nilai etika berkaitan denganaturan-aturan yang harus dijalani manusia dalam kehidupannya. Manusia harus memiliki perilakusesuai norma-norma, baik norma agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Disekolah, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan karya sastra, diantaranya puisi.Dengan mengajak siswa untuk sering membaca dan mengkaji nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etikapada puisi, maka perasaan halusnya akan tersentuh dengan keindahan atau nilai estetika. Pesan-pesanmoral atau nilai-nilai etik pada puisi akan berdampak pada pikiran kritis siswa dalam menjalanikehidupan dengan baik, lurus, dan benar.
Link: https://www.e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/semantik/article/view/440
25. PRINSIP–PRINSIP KESOPANAN DALAM FILM HOME ALONE KARYA JOHN HUGHES (SUATU ANALISIS PRAGMATIK)
Naftali Ester Siwu
This study is entitled Prinsip-prinsip Kesopanan dalam Film Home Alone. The aims of this study are to identify, clasify, and analyze the maxims that related to politeness principles and their functions found in the Film Home Alone. The method of this study is descriptive method. The technic of this study are collecting, classifying and anaykzing data. The data were collected through conversation among the characters. This study using Leech’S (1983) theory. The result shows that there are six maxim of politeness principles and their function. Those are tact maxims, genorisity maxim, approbation maxim, modesty maxim, aggrement maxim, and sympathy maxim. It is expected that this research will help students and readers in learning pragmatisc, especially on politeness principles.
Link: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jefs/article/view/38584/35194
26. Kevin Mccallister’s Intelligent Actions as Seen in Home Alone (1990) Movie
Cahyono, Dwi Cahyono and Pramono, Robertus Edi Pramono
Penelitian ini menganalisa film yang berjudul Home Alone (1990). Permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah (1) aksi kecerdasan yang di munculkan Kevin Mccallister di film Home Alone (1990) dan (2) tipe kecerdasan yang dimunculkan Kevin Mccallister. Penelitian ini menggunakan teori kecerdasan Triarchic oleh Robert Sternberg, dan analisis deskriptif yang berpusat pada aksi kecerdasan yang dimunculkan oleh Kevin Mccallister pada film Home Alone (1990). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe aksi kecerdasan yang dmunculkan oleh Kevin Mccallister di dalam film Home Alone (1990) adalah penemuan sesuatu yang baru dan penyelesaian masalah. Tipe kecerdasan yang berdasarkan teori Triarchic yaitu kecerdasan praktis, kecerdasan kreatif, dan kecerdasan analitis. This study analyzes the intelligent actions by Kevin Mccallister in Home Alone (1990) movie. There are two problems in this study: (1) the intelligent actions by Kevin Mccallister in Home Alone (1990) and (2) the type of intelligent actions. This study uses the Triarchic theory of intelligence by Robert Sternberg and the descriptive analysis which focuses on the intelligent actions by Kevin Mccallister in Home Alone (1990) movie. The result of the research shows that intelligent actions by Kevin Mccallister in Home Alone (1990) movie are discovery and problem solving. The types of intelligent actions based on Triarchic theory of intelligence are practical intelligence, creative intelligence, and analytical intelligence
Link: http://eprints.uty.ac.id/9060/
27. PERFILMAN INDONESIA: PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN, SEBUAH TELAAH DARI PERSPEKTIF INDUSTRI BUDAYA (CINEMA IN INDONESIA: HISTORY AND GOVERMENT REGULATION, A CULTURAL INDUSTRY PERSPECTIVE)
Handrini Ardiyanti
Kebijakan perfilman yang diterapkan negara mempengaruhi perkembangan industri perfilman di negara tersebut. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan perfilman mempengaruhi perkembangan industri perfilman di suatu negara dapat diketahui antara lain dengan cara melakukan studi sejarah. Karena itu, perlu dilakukan studi sejarah untuk untuk mengetahui sejarah perkembangan perfilman Indonesia. Sejarah perkembangan perfilman tersebut ditelaah dengan konsep-konsep terkait dengan industri budaya. Dari hasil telaah diharapkan dapat diketahui kebijakan yang dapat mendorong perkembangan industri perfilman Indonesia. Dari hasil telaah diketahui sejumlah kebijakan yang diharapkan dapat mendukung perkembangan perfilman Indonesia. Kebijakan tersebut meliputi tahapan produksi dengan memberikan dukungan maksimal bagi tumbuh berkembangnya sekolah film, membantu permodalan dengan sistem fund to funds, memperbaiki kebijakan sensor yang mempertimbangkan proses produksi film, mendorong adanya kebijakan yang memungkinkan tumbuh berkembangnya konsep bioskop komunitas, mendukung promosi film Indonesia dengan melibatkan berbagai komponen pemerintahan lainnya dibawah koordinasi Badan Ekonomi Kreatif, dan menumbuhkembangkan kebanggaan pada film Indonesia melalui strategi ekspansi budaya
Link: https://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/1521
28. Industri film Indonesia dalam perspektif sineas Komunitas Film Sumatera Utara
Rangga Saptya Mohamad Permana, Lilis Puspitasari, Sri Seti Indriani
Industri film nasional kini bangkit kembali setelah kejatuhan pada tahun 1990-an. Restrukturisasi industri film nasional dimulai dari film Petualangan Sherina dan diikuti oleh Ada Apa Dengan Cinta yang meraih 2,7 juta penonton. Film-film non-komersial juga muncul seperti Daun di Atas Bantal, Pasir Berbisik, dan lainnya. Antusiasme film-film indie muncul dan melahirkan para sineas dari luar Pulau Jawa, terutama dari Sumatera Utara (Sumut). Sineas Sumut lahir dan terpacu untuk membuat film indie mereka sendiri. Padahal, itu juga menjadi perhatian bagi para pembuat film ini tentang bagaimana mereka dapat menembus pasar industri film nasional. Kekhawatiran ini menjadi menarik untuk diketahui mengapa mereka ragu-ragu untuk mempromosikan film mereka ke arena nasional. Penelitian ini difokuskan pada perspektif sineas Komunitas Film Sumatera Utara tentang bagaimana mereka melihat industri film nasional. Penelitian ini dilakukan di kota Medan dan Berastagi, Sumatera Utara, di mana sebagian besar sineas yang menjadi anggota Komunitas Film Sumatera Utara aktif melakukan proyek film. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembuat film yang tergabung dalam komunitas film di Sumatera Utara memandang industri film nasional. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan metode deskriptif-kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kategori, yakni: 1) Jakarta-sentris; 2) Kemitraan dengan rumah-rumah produksi besar; 3) Konten film harus lebih bernuansa Indonesia; dan 4) Aturan penyiaran belum diterapkan dengan baik.
Link: https://jurnal.unpad.ac.id/protvf/article/view/23667
29. Pesan Kemanusiaan Dalam Medium Sinema: Film Hollywood Sebagai Media Penyebaran Nilai-nilai Hak Asasi Manusia Universal
Eqqi Syahputra, Mohamad Rosyidin, Marten Hanura
Hollywood has become the mainstream of globalization and the standard for cinema in various parts of the world. Not infrequently, Hollywood films can also convey messages about human life problems, including in terms of human rights. On the basis of fighting for and spreading human rights values, many films in the Hollywood film industry have started to act as a medium to spread human rights values into their film productions. Thus, this paper aims to answer and further examine how the roles of Hollywood films they give to the delivery of messages of universal human rights values. The scope of this research will focus on the value of human rights, films in the politics of international relations, as well as Hollywood films that have story content that adheres to human rights values and messages. The author will collect data using the literature study method with data sources referring to films, journals, books, websites, and international news. The data analysis technique will use Discourse Analysis because of its suitability with the theory, in this case post-structuralism, and to reveal every message in each film sample. This research allegation shows that some filmmakers, through their films which are thick with language and representation, can become media to disseminate values and understandings about human rights that they want to spread, and have a direct impact on the wider community.
Link: https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/download/30255/25134
30.CITRA AMERIKA SERIKAT DALAM FILM
R. Galih Agusta Risdiputro, Budhy Komarul Zaman
Dari apa yang peneliti dapatkan melalui proses penelitian mengenai citra Amerika Serikat dalam film Hollywood, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa citra Amerika dalam film tidak jauh berbeda antara film yang satu dengan film yang lain. Melalui penelitian ini ditemui bahwa untuk penggambaran karakteristik, antara tokoh utama pada satu film dengan tokoh utama pada film lainnya, rata-rata memiliki karakter yang sama. Ditemukan bahwa citra ketegarannya adalah cukup, citra moral dinilai tinggi, citra ego dinilai kuat dan citra kreativitasnya dinilai cukup. Demikian pula untuk penggambaran ethos yang merujuk ke si tokoh utama, dimana untuk kategori kredibilitas mereka cenderung digambarkan memiliki kemampuan yang tinggi, baik dalam soal keahlian di bidangnya, maupun soal dapat dipercaya. Merujuk pada realitas sehari-hari, pada kenyataannya, di kota-kota besar di Amerika – yang juga menjadi setting sebagian besar film-film Hollywood – para warganya, baik yang belum menikah maupun yang menikah, cenderung memiliki karakter seperti yang tergambar dalam film Hollywood itu.
Link: https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/120950
Itulah jurnal jurnal yang akan menjadi referensi penulisan karya ilmiah.
Sekian Terima Kasih.
Komentar
Posting Komentar